Bukan Software tapi Brainware, Bukan Hardware tapi Heartware
Posted by Mas Petruk on 11:17 PM with 1 comment
Di depanku terpampang satu working station bernama popular Mac, lengkap dengan layar 29 inchi,
prosesor Xeon, sistem operasi Leopard dengan tambahan sistem operasi Windows XP
SP3 dan Windows 7 pada bootcamp-nya.
Juga tiga harddisk drive dengan total kapasitas 3,5 terrabyte dan seonggok spesifikasi
hardware yang mumpuni.
Di sampingnya, notebook sisa perjuangan jaman
Jepang peninggalan mantan pimpinan sebelumnya. Beliau rela hati
mewarispinjamkan jatah equipment yang
seharusnya menjadi hak beliau karena waktu itu notebook prbadiku sisa kuliah di
Belanda sedang masuk bengkel gara-gara diforsir kerja analisis peta tuntutan syarat
kelulusan sekolah pascasarjana. Spesifikasinya memang semenjana. Tapi untuk
pekerjaan back-office sepertinya masih cukup mampu.
Di meja sebelah, notebook pribadiku terbuka
pula layarnya.. Spesifikasinya juga tak kalah keren dengan Mac milik kantor.
Waktu itu, prosesor i5 baru saja muncul dipasaran. Harganya masih selangit
untuk ukuran kantong mahasiswa rantau. Tapi, terbeli juga karena keterpaksaan. Keterpaksaan
akibat tuntutan kuliah di bidang perpetaan yang mengharuskan punaya komputer
jinjing yang high-end. Keterpaksaan karena mau tak mau harus utang
kiri kanan.
Spesifikasinya tidak sekedar lumayan. Prosesor,
kartu grafis, harddisk, dan perangkat keras lainnya boleh dikata layak untuk
tugas-tugas komputasi berat. Meski harus berkawan dengan desing suara kipas
prosesor yang sangat kuat, baterai yang super duper drop, IC-power yang kata
tukang servis rentan mati gara-gara jatuh akibat senggolan pantat kawan sebelah
bangku kulias, boleh dijamin, kecepatannya masih wuss..wuss..wuss.
Ini bukan sombong. Inti ceritanya bukan tentang
pamer kemewahan. Tapi bahwa tahun ini, kali pertama peralatan komputer spesifikasi
tinggi boleh dikata tak lagi kekurangan.
Masih teringat tujuh tahun yang lalu, aku duduk
di kursi reyot yang siap membuatku tergelincir. Kursi berbalut babut merah dengan
busa yang nyaris rata. Kursi yang setiap aku menggeserkan tubuh harus dibarengi
dengan perasaan khawatir bakal patah. Sementara di depanku, komputer masa
pendudukan Belanda menjadi hiasan meja. Layarnya sudah berdebu dengan tampilan
yang setiap saat berubah warna dari kehijauan ke kekuningan, dari kekuningan ke
kemerahan, dari kemerahan kembali lagi ke kehijauan atau semburat biru. Bila
itu terjadi, tandanya aku harus memukul bagian samping layar monitor agar
warnanya kembali normal.
Perangkat lunak yang tertanam pun hanya
sekedarnya. Perangkat lunak standar bawaan Windows, plus MS-Office bajakan, dan
program pengolah gambar yang sudah habis masa cobanya. Satu-satunya yang
melimpah adalah program permainan. Dari heart sampai blackjack, mulai snorkleball
sampai pipeline. Semua permainan yang tidak membutuhkan spesifikasi komputer
mumpuni. Tapi itu tersedia melimpah. Dan yang terpenting, terlihat sering
dimainkan.
Masih juga teringat kalimat pertama yang
terucap dari mulutku waktu itu, “Ya Tuhaaann!!!”
Banyak hal berbeda yang sudah terjadi. Banyak perubahan
dan perbaikan yang berlangsung sampai kini. Satu hal yang tetap sama, aku
merasa belum menghasilkan apa-apa. Alat-alat sudah berkembang dengan canggihnya.
Meski belum semua bisa tersedia, sebagian besar sudah ada di depan mata.
Dulu alat belum ada, lalu data yang belum
tersedia, lalu rekan sejawat yang belum satu visi, lalu waktu dan kesempatan
yang jarang ada karena tumpukan pekerjaan. Sekarang apa? Aku mencoba mencari
apologi. Tapi tidak kutemukan lagi satu pun bentuk pembenaran.
Memang banyak yang sudah dikerjakan. Tapi tidak
ada yang benar-benar memuaskan diri. Rasanya semuanya hanyalah pekerjaan yang
hanya menjadi asap setelah usai pekerjaan itu. Wussss… hilang tiada berbekas.
Brainware lebih utama dari Software maupun Hardware, satu lagi…heartware
Dari dulu bertumpuk ide di kepala. Selaksa keinginan
yang ingin diwujudkan. Berbagai macam mimpi yang diwacanakan ke kolega di
sekitar. Tapi rasanya, semua mengkal. Mentah tidak, matang bukan. Nyatanya belum
ada yang benar-benar berhasil.
Dari sinilah kemudian terbit satu pemahaman. Tidak
ada hasil yang bisa dibanggakan selama semuanya itu masih sekedar wacana. Begitu
banyaknya alat bantu yang tak diragukan lagi kecanggihannya tak ada artinya
selagi si manusia hanya sekedar bermimpi. Baru sebatas retorika dan wacana,
begitu kata para cerdik pandai.
Maka rasanya mulai muncullah kesadaran dalam
diri, inilah waktu untuk mulai berbuat sesuatu. Sesuatu yang sederhana namun
benar-benar ada hasilnya. Dahulu begitu banyak ide bombastis. Mungkin brilian
mungkin juga gila. Tapi semua sebatas ide di kepala. Untuk mewujudkkannya?
hhhmmmm….
Serasa ingin meledak kepala ini karena begitu
banyaknya keinginan yang ingin dilakukan. Tapi pengalaman mengajarkan, cukup
satu dulu, spesifik, jelas, dan selesaikan. Sisanya, catat, simpan, dan
kerjakan setelah pekerjaan sebelumnya selesai dan menghasilkan sesuatu.
Kuncinya adalah fokus, mulai dari diri sendiri,
dan arahkan pandangan ke arah yang pasti.
Mungkin kadangkala perlu multitasking karena begitu banyak tumpukan tanggung jawab yang harus
diselesaikan dalam waktu yang bersamaan, tapi itulah seninya. Tetap mengarahkan
pandangan pada tujuan. Yang lain, lupakan sejenak untuk kemudian dipikirkan
nanti pada waktunya.
Dus, inilah saatnya bergerak menghasilkan
sesuatu, meski kecil dan bersahaja. Sebab hal yang besar pun belum bisa
dikatakan besar bila tidak terselesaikan dengan tuntas.
Mulailah… berpikir secara luas, bertindak
secara spesifik, tapi yang utama..mulailah…mulailah sekarang juga. Sebelum semuanya
terlambat. Dan satu hal lagi, hati…bekerjalah dengan hati..maka niscaya semua
akan menyenangkan tiada membosankan. J
--malam Jumat ke-19, ditengah keheningan malam--
"IC-power yang kata tukang servis rentan mati gara-gara jatuh akibat senggolan pantat kawan sebelah bangku kuliah" --> semangkin merasa bersalah :(
ReplyDelete